Membaca satu per satu isi postingan di blog Mbak Evi rasanya tidak ada satu pun yang tidak menarik. Apalagi jurnal tentang perjalanannya ditambah lagi dilengkapi dengan foto-foto yang selalu indah.
Blog Mbak Evi juga ternyata seumuran dengan blog perdana saya yang Keke Naima. Sama-sama di bulan Desember 2007. Saya posting pada tanggal 14 Desember 2007, sementara Mbak Evie posting perdana di tanggal 12. Cuma beda 2 hari, tapi perkenalan kita berdua baru terjadi 1 tahun terakhir. Kemana aja ya kita selama ini, Mbak? Hehe.
Dari sekian banyak postingan yang ada, kali ini saya terpincut dengan salah satu postingan yang berjudul Bapak. Sebuah postingan sederhana tentang keresahan Mbak Evi terhadap kondisi kesehatan Bapaknya yang sedang menunaikkan ibadah haji.Mengingat saat itu konsumsi di uji coba diberikan dengan sistem prasmanan. Tapi bapaknya dengan tenang menjawab, "Bapak bisa makan roti, kok."
Postingan Bapak, mengingatkan saya tentang keresahan yang sama ketika orang tua saya menunaikkan ibadah haji di tahun 2006. Sebuah kisah tentang kasus "Haji Kelaparan".
"Kita gak boleh membiasakan terus-menerus memanjakan lidah", pesan Papah saya menjelang keberangkatannya ke tanah suci diantara sederet wasiat lainnya.
Maksud Papah adalah boleh aja kita punya makanan favorit tertentu, tapi sesekali harus mau menyantap makanan lain yang bukan makanan kesukaan kita kalo memang kondisinya tidak memungkinkan untuk memilih-milih makanan. Tentu aja yang dibicarakan di sini makanan halal, ya :)
Contohnya ketika kita berada di negeri orang, belum tentu kita ketemu nasi (kan katanya orang Indonesia itu belum makan kalo belum ketemu nasi :D). Kalopun makan dengan nasi, belum tentu sesuai dengan selera kita. Kita harus tetap menyantap makanan tersebut dengan satu alasan utama, yaitu kesehatan.
Ketika Papah berkata seperti itu pastinya gak ada di dalam benaknya kalau perjalanan ibadahnya bersama Mamah akan mengalami masalah "Haji Kelaparan". Kasus dimana saat itu banyak calon jemaah haji Indonesia yang tidak mendapat kiriman konsumsi ketika berada di Arafah. Padahal beribadah di Arafah, katanya termasuk ibadah yang paling berat.
Melihat berita-berita di media juga semakin membuat miris hati. Banyak wajah-wajah calon haji dari Indonesia yang (maaf) terlihat memelas dari balik pagar. Kasihan sekali melihatnya. Malah katanya banyak yang meminta-minta makan.
Duh, saya sebagai anak tentunya sangat resah melihat berita tersebut. Bagaimana dengan orang tua saya? Selalu memandangi televisi, siapa tau ada wajah orang tua saya di sana. Walopun rasanya tidak akan tega kalo sampai melihat orang tua saya ada diantara wajah yang memelas itu.
Tiap kali saya telpon orang tua, mereka selalu jawab gak apa-apa, tenang aja.Saya yang saat itu sudah menjadi orang tua, bisa memahami ini. Dimana-mana yang namanya orang tua gak mau nyusahin anak, ya. Selalu berusaha tersenyum dan bilang gak apa-apa, padahal mungkin hatinya sangat resah.
Saya rasa bapak Mbak Evi juga begitu. Tidak ingin membuat putrinya menjadi resah, apalagi menurut Mbak Evi, bapak sosok yang sabar :)
Orang tua juga bercerita kalo mereka gak mau ikutan meminta-minta, lebih baik terus beribadah. Walopun beribadah dengat perut melapar pastinya harus lebih keras berusaha, ya.
Kemudian kabar gembira pun datang .... Mamah cerita kalau rombongannya mendapat banyak makanan dari rombongan Turki, China, dan ada satu negara lagi yang saya lupa. Gak cuma sedikit bahkan sangat berlebih sehingga bisa berbagi-bagi lagi dengan banyak jamaah lainnya. Alhamdulillah saya sangat terharu mendengar cerita orang tua saya itu.
Sampai orang tua kembali ke tanah air pun, saya masih belum bosan mendengar kisah menakjubkan tersebut. Teringat juga pesan dari papah saya yang tentang "memanjakan lidah". Apakah kiriman makanan dari jamaah Turki, China, dan lainnya itu lezat? Ah, jangan dibahas. Dengan berlimpahnya makanan di tengah kesusahan itu adalah sebuah mukjizat. Jadi memang sebaiknya bersyukur. Alhamdulillah :)
Nasihat dari Papah pun saya terapkan sampai sekarang, termasuk ke Keke dan Nai. Saya selalu mengajarkan kepada mereka supaya jangan menjadi orang yang suka pilih-pilih makanan karena suatu saat mereka juga akan menemui makanan yang bukan selera lidah mereka, walopun sah-sah aja mempunyai makanan favorit. :)
Saya gak pernah nolak-nolak makanan kok mbak, apalagi pisang goreng. Kalaupun kurang berkenan dengan selera, yo diam saja. Tak harus mengomentari apalagi memaki makanan tadi.
ReplyDeleteterima kasih sudah turut menyemarakkan First GA mbak Evi.. sudah tercatat sebagai peserta #Resmi
matur nuwun buat emake Keke dan Nai #sipil
Oh..karena Mbak Mira memilih judul artikel ini, saya jadi kembali membacanya..Yah waktu itu nasib jemaah haji kita mengenaskan banget Mbak..Walaupun ke Mekah emang bukan untuk senang-senang mestinya mereka gak perlu memikirkan kebutuhan dasar. Fokus mereka seharusnya beribadah. Tapi gara-gara pemerintah kita yang konyol, namanya saja Dep. Agama tapi korupsinya ampun-ampunan, waktu itu mereka menelantarkan jemaah haji sehingga harus minta-minta ke negara lain untuk sekedar makan..
ReplyDeleteKalau ingat pengalaman itu, saya pengen marah lagi deh hehehehe..
Makasih atas keikut sertaannya ya Mbak :)
sama mba, dalam kamus makanan saya, hanya ada dua rasa makanan halal itu enak dan enak banget. Nah kalau ke asinan ya tinggal dikasih air, kalo kurang asin ya tinggal di kasih garam lagi. Salut ya buat kerukunan umat Islam di tanah suci. Petuah dari ayahnya Mak Mira sama dengan petuah dari ayah saya. Jangan jadi pemilih makanan, asalkan halal dan diperbolehkan dokter, sikat saja (tapi yo jangan kebanyakan ^_^).
ReplyDelete