Monday, August 18, 2014

Dihakimi Itu Rasanya...

Tarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri untuk beberapa saat. Mengendapkan tulisan, semoga saja sudah tidak terlihat emosi yang meledak di dalam tulisan ini. :)

Bagaimana rasanya dihakimi? Dinilai hanya berdasarkan 'kulitnya'. Mungkin ada yang bilang, "Santai ajaaa.. Apalagi gak kenal sama yang menghakimi." Tanpa disuruh, saya pun berkali-kali berkata seperti itu kepada diri sendiri. Tapi, ada kalanya tidak semudah itu.

Beberapa hari lalu, saya menulis review film The Great Gatsby. Salah satu film favorit saya. Menceritakan tentang milliuner misterius yang berhati tulus, tapi  kematiannya tragis. Dan, media pun menilainya hanya berdasarkan 'kulitnya'. Tidak tau kejadian yang sebenarnya tapi menghakimi.

Ketika hari raya idul fitri lalu, sebuah pertanyaan 'Kapan' seperti menjadi momok menakutkan bagi beberapa orang. Bukan tidak ingin menjawab pertanyaan itu, tapi selain lelah terus ditanya hal yang sama juga kadang diiringi dengan penghakiman. Dianggap kurang berusaha, terlalu sibuk, terlalu memilih, dan lain sebagainya.

Di postingan ini, saya tidak akan membahas tentang pertanyaan 'Kapan'. Ada tulisan bagus yang saya ambil dari FB Mbak Esti Sulistyawan. Silakan di baca dan dicerna. Saya kali ini ingin menulis tentang rasanya dihakimi.


Papah mertua saya akhir-akhir ini mulai terganggu kesehatannya karena diabetes. Papah juga ada katarak. Harusnya, sih, dioperasi matanya. Tapi, bagi yang mempunyai diabetes, tentunya tidak mudah untuk melakukan operasi. Harus melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan yang sangat panjang. Ditambah lagi usianya yang sudah sepuh. Bolak-balik ke rumah sakit hanya ditemani dengan mamah mertua.

Mamah cerita kalau setiap kali ke rumah sakit selalu diomeli oleh para suster. Mereka awalnya suka bertanya kemana anak-anaknya? Kok, tega membiarkan orang tua yang sudah sepuh datang ke rumah sakit berdua saja.

Mamah mertua selalu menjelaskan kalau anak-anaknya sudah pada menikah. Kondisi tidak memungkinkan untuk menemani ke rumah sakit. Cucu-cucunya masih pada kecil-kecil dan tidak ada satupun yang memakai asisten rumah tangga. Jadi, gak masalah buat mamah mertua saya kalau memang harus datang berdua tanpa ditemani anak-menantu. Tapi, selalu aja para suster itu mengomeli dan ngedumel padahal udah dijelasin sama mamah mertua.

Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh para dokter. Melihat mertua datang tanpa didampingi anak-menantu, para dokter selalu tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya. Bahkan, para dokter gak segan-segan bangkit dari kursi untuk membantu mamah mertua mendorong kursi roda yang diduduki papah mertua.

Bagi mereka yang tidak mengenal, mungkin akan trenyuh melihat pemandangan sepasang orang tua yang sudah sepuh datang ke rumah sakit tanpa didampingi yang orang muda. Saya pun mungkin akan demikian. Dan mungkin juga akan mempunyai pertanyaan yang sama dengan para suster tersebut, "Kemana anak-anaknya?"

Tapi, haruskah kemudian diiringi dengan kalimat menghakimi? Mencoba berpikiran positif kalau para suster tersebut hanya memberi perhatian. Tapi, kalimat menghakiminya tetap membuat hati saya sakit mendengarnya walopun saya hanya mendengar dari cerita mertua. Kenapa, sih, tidak bersikap seperti para dokter yang memilih untuk tersenyum, mengacungkan kedua jempol, bahkan membantu mendorong kursi roda. Memberi perhatian itu gak selalu harus dengan kata-kata, kan?

Tentu aja saya tidak menceritakan rasa sedih itu ke mertua. Tidak mau menambah beban mereka. Saya hanya bercerita ke suami. Menumpahkan segala rasa yang saya sedang rasakan.

Saya yakin, mertua saya itu orang-orang yang kuat. Kalau sanggup ya bilang sanggup, enggak ya enggak. Kesal ya bilang kesal, senang ya bilang senang. Saya ingat beberapa tahun lalu ketika film laskar pelangi lagi tayang di bioskop. Mamah mertua bercerita kalau beliau nonton sendirian di bioskop karena saking penasarannya banyak yang memuji film tersebut. Ketika saya berkunjung, mamah mertua menceritakan pengalaman menontonnya itu sambil tertawa-tawa. Beliau cerita, banyak yang takjub melihat seorang nenek nonton sendirian di bioskop. Bahkan akhirnya ada anak muda yang mau membantunya antri.

Waktu papah mertua masih sehat, mereka berdua juga suka kemana-mana naik motor vespa berdua. Disarankan naik taxi sama anak-menantunya suka gak mau. Mereka kadang suka becanda dengan bilang, "Biar kayak pacaran." Mungkin kita yang melihatnya kasihan udah sepuh masih naik motor kemana-mana. Padahal mertua saya gak kenapa-napa. Mereka menikmati itu semua dan bahagia, kok. Tapi, ya lagi-lagi orang suka menghakimi berdasarkan apa yang mereka lihat sepintas tanpa tahu keadaan sebenarnya.

Rasanya, saya ingin sekali bertanya sama para suster itu kalau memang dibilang tega sama orang tua, apa mereka bersedia menggantikan saya untuk menjaga anak-anak saya selama saya mengurus mertua? Cobalah sesekali bayangkan berada di posisi orang lain sebelum menghakimi.

Saya seorang ibu rumah tangga tanpa dibantu asisten sama sekali, dengan 2 anak kecil yang masih sekolah. Kalau saya harus menemani mertua ke rumah sakit, lalu anak-anak dengan siapa? Membawa mereka ke rumah sakit? Memangnya mereka gak sekolah? Lagian rumah sakit bukan tempat yang bagus buat anak-anak untuk sering-sering berkunjung, kecuali kalau mereka sedang sakit.

Saya memang masih tinggal dengan orang tua. Tapi, gak semudah itu juga menitipkan anak-anak saya ke orang tua untuk kemudian mengurus mertua. Di waktu yang bersamaan, papah saya kondisi kesehatannya pun sedang kurang baik. Penyakit batu ginjal, lah, penyebabnya.

Beberapa hari lalu, Papah saya juga sempat di rumah sakit selama 3 hari untuk melakukan serangkaian pemeriksaan. Pada akhirnya, dokter mengharuskan papah saya operasi besar untuk pengangkatan batu ginjal. Sampai saat ini, saya belum tau kapan operasi besar akan dilaksanakan. Karena masih melakukan serangkaian pemeriksaan dan mencoba mencari second opinion juga. Kalau seperti ini keadaannya, apa saya tega menitipkan kedua anak saya ke mamah untuk diurus? Sementara konsentrasi mamah juga fokus untuk papah.

Belum lagi banyak alasan lain yang tidak mungkin semuanya saya ceritakan di sini. Buat apa? Saya rasa 2 kondisi itu sudah cukup menggambarkan.

Rasanya ingin membelah diri. Tapi, apa mungkin? Kondisi, lah, yang sering kali membuat seseorang harus memilih satu keputusan dari berbagai pilihan yang ada. Walopun semua pilihan tersebut gak ada yang sempurna. Kalau kemudian ada yang tidak mengerti apa-apa tapi main menghakimi, rasanya itu sakit *nunjuk dada.

Saya pernah baca sebuah quote. Lupa persisnya gimana. Tapi, maksud dari quotenya itu adalah sebaiknya kita gak perlu repot-repot menjelaskan keadaan kita sebenarnya kepada orang lain yang hanya ingin tau tapi gak mau mengerti. Orang terdekat lebih tau keadaan kita bahkan tanpa kita repot menjelaskan.

Saya setuju dengan quote tersebut. Rasanya malas dan ingin memilih diam saja. Saya juga tidak ingin orang menghakimi (lagi) menganggap tulisan ini hanyalah sebuah kecengengan dan ingin dimengerti. Buat saya, selama keluarga bisa saling mengerti sudah lebih dari cukup. Tapi, kalau sampai tulisan ini terpublish, anggap aja mungkin kali ini saya sedang lelah. Sedih melihat orang tua dan mertua yang sedang sakit. Dan, lelah karena merasa dihakimi oleh orang-orang yang bahkan gak dikenal.

19 comments:

  1. kadang orang2 *termasuk saya* mendadak/tiba2 nyeletuk ketika lihat2 hal2 yang sebenarnya biasa,jadi luar biasa (bagi kita)...makasih mak sharingnya, semoga papanya lekas sembuh :)

    ReplyDelete
  2. TFS Mak. Kadang nyeletuk itu spontan ya Mak. Dan yg melakukan merasa seperti sangat tahu dengan kondisinya. Padahal yang terjadi tak sealu seperti apa yg mereka pikirkan. Semoga kita semua menjadi orang yg lebih bijak :)

    ReplyDelete
  3. Curiosity killed the cat. Kadang keingintahuan seseorang itu bikin yang lainnya jadi gak nyaman :(

    ReplyDelete
  4. yg sabar mak. Saya salut dengan kemandirian, kemandirian seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak tanpa asisten, kemandirian bapak ibu mertua yang tidak mau merepotkan anak2nya.

    ReplyDelete
  5. Kadang karena ga memahami permasalahan jadi pakai satu sudut pandang aja, Mak. Semoga orangtua dan mertua segera sembuh ya. Aamiin

    ReplyDelete
  6. Saya sharing gambar itu juga saking sedihnya dicurhati sama teman mbak, selain saya juga pernah mengalaminya juga
    Karena itu saya cenderung diam saat ini, tidak berkomentar karena tidak ingin dikomentari :)

    ReplyDelete
  7. lebih memilih diam adalah jauh lebih bijaksana dalam melihat suatu keadaan yang kita sama sekali buta latar belakang dibaliknya. Saya melakukan hal itu, karena saya tahu rasanya dihakimi. nyesek, walau suami membela mati-matian karena dialah yg paling tahu diri kita. Tapi tetep saja sakit di dada. jadi tahu bener apa yg Mak rasakan..

    ReplyDelete
  8. Akan selalu ada manusia2 yg ditugaskan Tuhan untuk menguji kita, salah satunya ya itu tuh, menghakimi seenaknya udel itu :D. Abaikan saja mbak, dan tuliskan biar lebih lega *peluk mbak Chi*

    ReplyDelete
  9. Saya termasuk orang yang suka mbatin mak kalau ada orang tua sendirian. Kok tega ya anaknya.Baca postingan ini saya jadi lebih memahami kenapa mereka sendirian. Semoga mama mertua dan papa mak mira cepat sembuh ya.Terkadang saya harus melihat dari kaca mata berbeda ya

    ReplyDelete
  10. Ujian hidup ya mbak. InsyaAllah selalu ada jalan keluar bagi hamba-NYA yang taqwa dan bertawakkal.

    ReplyDelete
  11. Mksih y mak, sdh mengingatkan. Salut bwt bpk n ibu mertuanya mbk. Semoga bapak mertua serta bapak mbk cepat sembuh ya, amin.

    ReplyDelete
  12. jleb banget mak..semoga bisa lebih empati pada orang lain en nggak sok tau..cepat sembuh ya bapak mertua dan bapaknya mak aamiin...

    ReplyDelete
  13. saya juga pernah dihakimi mak. ga enak banget ehehe. sabar ya mak..

    ReplyDelete
  14. Komen saya sama dengan Mba Nunung di atas. Ternyata emang kalau gak tau apa-apa sebaiknya diem aja. Melihat boleh, menilai sebaiknya tidak, ya mba chi.

    ReplyDelete
  15. saya juga pernah mengalami hal seperti itu mak. tp sekarang saya berusaha cuek aja mak. yang lebih mengerti kondisi kita ya kita srndiri kan mak :))

    ReplyDelete
  16. sudut pandang orang itu berbeda-beda ya. tinggal bagaimana kita menyikapinya...

    ReplyDelete
  17. meskipun ceritanya tidak sama persis, saya pernah merasakan seperti yang mba Myra rasakan, *peluuuk

    ReplyDelete
  18. Aku termasuk orang yg suka ceplas ceplos kalo ngomong, gak pake dipikir. But, Insya Allah tidak utk hal2 yg berbau sensitif, macam menikah, punya anak, dan pernak-pernik urusan pribadi orang. Tapi ya harus mulai latihan mengetatkan lisan ah, siapa tau pas saya bercanda, orang lain justru merasa disindir.
    Thks udah mengingatkan ya Mak Chi :*

    ReplyDelete
  19. paling gak suka ya mak kalau dihakim i... apalagi jika yang menghakimi gak tau apa2
    sabar ya mak... cuekin aja deh hehe

    ReplyDelete

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...